Headlines News :
Home » » Konsep Tarbiyah Akhlak dalam Al-Quran

Konsep Tarbiyah Akhlak dalam Al-Quran

Written By Unknown on Minggu, 22 Agustus 2010 | 10.08.00

Pemilihan gaya bahasa disesuaikan dengan tingkat pengetahuan umum manusia, sekalipun mereka berbeda lingkungan, wawasan dan zaman. Bukanlah merupakan sarana yang baik, jika gaya bahasa dakwah dan pengajian hanya cocok untuk satu kalangan dan tidak cocok untuk kalangan yang lain. Ini adalah syarat paling berat dalam konsep tarbiyyah yang mampu menyentuh seluruh lapisan masayarakat manusia, betapa banyak da'i yang gagal dalam dakwahnya, dilihat dari sisi konsep dan bahasanya, karena mereka tidak menguasai artikulasi bahasa dan orasi yang menyentuh level umum pemahaman pendengar maupun para peserta didik. Dari sisi ini kita melihat fenomena mujizat yang agung dalam Al Quran, karena kitab ini mampu berdialog bersama pembaca dan pendengarnya dengan sarana bahasa yang sesuai dengan level pemahaman mereka, semua lapisan masyarakat, tanpa meninggalkan jejak cacat dalam pemahaman ataupun kontradiksi di antara beberapa pemahaman. Bukan berarti kami mengeluarkan jaminan pasti, bahwa semua anak manusia mampu mencerna isi Al Quran tanpa proses belajar dan mengkaji, namun kami katakan ini akan terjadi jika mereka semua memiliki kemampuan yang sama dalam memahami kaidah-kaidah dan gaya bahasa arab. Semua akan memiliki pemahaman yang sama tentang maksud kitab ini, setelah mereka sama-sama memiliki kemampuan bahasa arab sebagai sarana belajar dan kajian mereka terhadap kitab Al Quran. Cobalah kita perhatikan firman Allah Swt : “Bukankah kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, Orang-orang hidup dan orang-orang mati. Dan kami jadikan padanya gunung-gunung yang tinggi, dan kami beri minum kamu dengan air tawar?” (QS. Al Mursalat : 25-27) Renungkan kata “Kifata” yang memiliki makna menarik dan mengumpulkan, kita bisa lihat dalam sebuah bait syair: Mereka mulia ketika lubang-lubang itu menarik ular-ular bersembunyi karena udara dingin yang menusuk Ayat ini memberikan gambaran tentang bumi sesuai dengan level pemahaman orang arab badui, di mana mereka memahami dari ayat ini, bumi adalah mirip seperti wadah yang mampu menjaga dan mengamankan segala hal yang ada di dalamnya, ini adalah pemahaman yang benar, karena memang seperti itulah kenyataannya. Gambaran ini sama persisi dengan penelitian para ilmuwan dan peneiti bumi dan antariksa, seorang ilmuwan yang bernama Tsabit bin Qurrah (221-228) menyatakan bahwa manusia bisa menetap di bumi ini karena adanya kekuatan tersembunyi yang menariknya. kalau bukan karena kekuatan ini, maka manusia tidak akan mungkin bisa menetap di bumi, kekuatan ini belakangan kita kenal dengan daya gravitasi bumi. Tidak ada kata yang mampu menjembatani pemahaman tradisional seorang baduwi dengan penemuan para ilmuwan pada era modern sekarang ini kecuali kata “kifata”. Mari kita perhatikan firman Allah swt berikutnya yang juga menjelaskan satu sisi gambaran bumi: “Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.” (QS. An Naziat : 30-31) Kata “dahaha” dalam bahasa arab artinya adalah menghamparkan, membesarkan dan mebulatkannya, sebagaimana dijelaskan dalam kamus al Muhith. Ketiga makna ini ternyata tercakup dalam realitas bumi, karena bumi bersifat terhampar, besar dan bulat. Seorang badui yang hidup di pedalaman memahami makna yang pertama dan kedua, adapun ahli perbintangan memahami ketiga makna tersebut, jadi tidak ada pertentangan dan kontradiksi antara ketiga makna tersebut dan juga pemahaman orang badui dan ahli perbintangan. Perhatikan firman Allah swt yang menjelaskan gambaran tentang api dan fungsinya dalam kehidupan anak manusia. “Maka Terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dengan menggosok-gosokkan kayu). Kamukah yang menjadikan kayu itu atau kamikah yang menjadikannya? Kami jadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.” (QS. Al Waqiah : 71-73) Kita lihat kata “Muqwiin” yang merupakan bentuk jamak dari “Muqwin” yang berarti orang yang tinggal di padang pasir, orang yang lapar dan orang yang menikmati. Adapun dalil dari makna pertama adalah bait syair di bawah ini: Sungguh aku utamakan orang pada pasir yang lapar Agar tidak digelari sebagai orang yang pelit Seorang arab badui akan memahami makna yang pertama, karena api adalah nikmat bagi orang-orang yang tinggal di padang pasir, karena api itu menerangi rumah-rumah dan lingkungan mereka, sekaligus menjadi penerang tempat mereka berkumpul. Adapun kalangan awam yang tinggal di kota akan mudah memahami makna yang kedua, karena bagi mereka api berfungsi sebagai sarana untuk memasak makanan mereka, bagi mereka api adalah barang yang sangat penting bagi “muqwin” yang artinya orang yang lapar. Adapun makna ketiga adalah ungkapan tentang kartu terbuka yang menunggu perkembangan zaman dan waktu, tidak ada aneka fungsi api yang di temukan oleh kemajuan dan ilmu kecuali telah dijelaskan secara jelas oleh kata muqwin dalam ayat tersebut di atas, makna ketiga ini pasti difahami secara otomatis oleh setiap orang yang tinggal di kota. Perhatikan salah satu ayat yang menjelaskan gambaran tentang matahari dan rembulan dengan karakteristiknya masing-masing, Allah swt berfirman: “Yang Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” (QS. Al Furqan : 61) Dalam ayat yang lain Allah swt berfirman: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita?” (QS. Nuh : 15-16) “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya.” (QS. Yunus : 5) Kita melihat ketiga ayat menjelaskan matahari sebagai “siraj” lampu pelita sekaligus juga penerang, dan bulan sebagai “nur” cahaya dan penerang, ini adalah gambaran detail yang menyentuh seluruh makna yang difahami oleh seluruh lapisan masyarakat, sesuai dengan wawasan dan level pemahaman mereka. Adapun orang badui yang ada di pedalaman memahami kedua gambaran di atas dengan baik, bahwa keduanya memilki kesamaan dalam memberikan penerangan kepada manusia secara mutlak, karena kata siraj dan nur memiliki makna yang sama yaitu sebagai penerang. Namun orang-orang yang memiliki wawasan ilmu pengetahuan luas memahami bahwa keduanya memiliki makna yang sama sebagai penerang, hanya saja matahari selain menerangi ia juga membawa hawa panas, adapun bulan memberi cahaya yang tidak ada panasnya. Karena sesuatu tidak akan dikatakan sebagai siraj kecuali selalu disertai dengan panas. Adapun ahli perbintangan atau yang mengenali dengan dalam tabiat matahari dan bulan, mereka memahami dua gambaran di atas, apabila mereka tahu bahasa arab. Sesungguhnya ayat-ayat di atas memberikan penjelasan bahwa matahari memberikan penerangan dari dalam dirinya sendiri, adapun bulan cahayanya adalah hasil pantulan sinar yang ditangkapnya, ini adalah perbedaan kata yang sangat detail dan teliti, kita tidak menyebut kamar kita dengan siraj karena ia memberikan cahaya atau sinar, tapi kita katakan cahaya kamar adalah pancaran cahaya lampu yang menyinari dari dalam dirinya sendiri, siraj memancarkan sinar dan cahaya dari dirinya sendiri. Sumber : http://www.al-idrisiyyah.com/read/article/17/konsep-tarbiyah-akhlak-dalam-al-quran
Share this post :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Blog alidrisiyyah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger