Al-Idrisiyyah adalah sebuah tarekat yang didirikan Sayyid Ahmad bin Idris al-Fasi (w. 1253) yang memperoleh pelajaran tasawufnya dari Sayyid Abdul Wahhab at Tazy (w. 1131 H.), seorang sufi reformer berasal dari Afrika. Abdul Wahhab aI-Tazi ini juga merupakan guru dari Sayyid Muhammad Ali al-Sanusi al Kabir -orang Barat menyebutnya the Grand Sanusi Pendiri Tarekat Sanusiyah. Karenanya tak mengherankan jika antara kedua tarekat ini terdapat banyak kesamaan terutama dalam ajaraan-ajarannya. Sebab kedua tarekat ini berasal dari guru yang sama.
Ada baberapa nama diberikan kepada aliran tarekat ini. Terkadang disebut Al-Idrisiyyah, nama yang dihubungkan dengan Sayyid Ahmad bin Idris, namun sering pula disebut Al-Khidiriyyah, nama yang dikaitkan kepada Nabi Khidir as. Bahkan, Sayyid Muhammad Ali as-Sanusi dalam bukunya al-Manhalu aI-Raawii al-Raaiq fii Asaaniid al 'Ulum wa Ushuuli at-Thariiq menyebut tarekat ini dengan Al-Muhammadiyah juga ada pula catatan yang menyebut tarekat int Ahmadiyah, nama yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Idris.
Sebagaimana Tarekat Sanusiyah, Tarekat Idrisiyah pun punya banyak pengikut terutama di daerah Afrika seperti Tunisia, Libya, Yaman dan sebagainya serta daerah-daerah lainnya & seperti Saudi Arabia, Mesir, dan lain-lain. Adalah para jemaah haji yang sekaligus memperdalam Ilmu agama di Makkah yang sangat besar peranannya dalam penyebaran tarekat ini. Ini terjadi karena dalam lebih kurang 36 tahun Syekh Ahmad bin Idris menjadi guru di Makkah yang setiap kali mengajar selalu diikuti banyak murid yang berasal dari berbagai negara.
Di Indonesia, Tarekat Idrisiyyah nampaknya kurang popular jika dibanding dengan tarekat-tarekat lainnya, seperti Tarieat Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syadziliyyah, Samaniyah, Tijaniah, Sanusiyyah, atau Rifa’iyah. Dalam literatur-literatur Indonesia, tarekat ini jarang dibicarakan. Buku Pangantar llmu Tarekat (Bulan Bintang, 1985) karangan Prof. H. Abubakar Atjeh misalnya, hanya sedikit menyinggung tarekat ini. ltupun tak secara spesifik, melainkan dimasukkan dalam pembahasan mengenai tarekat Sanusiyah. Padahal, tarekat-tarekat lainnya dibahas secara cukup panjang lebar.
Masuknya Tarekat Idrisiyyah ke Indonesia terjadi sekitar 1930-an, dengan Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fatah sebagai tokoh pertamanya. Beliau lahir di desa Cidahu, Tasikmalaya, pada 1884 M/1303 H. dan merupakan anak ke-3 dari 10 orang bersaudara dari pasangan H. Muhammad Syarif bin Umar dan H. Rafi’ah binti Jenah. Nenek moyangnya tokoh ponyebar Islam di P. Jawa, yaltu Sunan Deraiat.
Suatu hari guru dari Abdul Fatah, Haji Suja'i membahas Surat Al-Kahfi ayat ke-17, yang artinya "Barang siapa diberi petunjuk Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang sesat maka tak akan mendapatkan Wali Mursyid (seorang pemimpin pun yang memberi petunjuk kepadanya)." Abdul Fatah bertanya siapakah yang dimaksud "waliyyan mursyida" dalam ayat itu, dan apakah gurunya termasuk "waliyyan.mursyida". "Bila Ingin mendapatkannya sebaiknya segeralah engkau berangkat untuk mencarinya," jawab sang guru.
Sejak itu Abdul Fatah meminta izin sekaligus mencari orang yang disebut "waliyyan.mursyida" itu. Maka, pada 1924 Abdul Fatah sekeluarga berangkat ke Tanah Suci. Namun, sampai di Singapura kapal yang ditumpanginya mengalami kerusakan. Mereka Ialu menetap di sana selama beberapa tahun. Barulah pada 1928, ia dapat melanjutkan perjalanannya ke Makkah. Sampailah ia di Jabal Abu Qubais dan di tempat ini beliau berguru kepada Syaikh Ahmad Syarif Sanusi. Dari Syaikh inilah ia peroleh ilmu tarekat yang dikembangkan oleh Syekh Ahmad bin ldris.
Sekembalinya di Indonesia Abdul Fatah mengembangkan tarekat ini. Mula-mula di daerah Jakarta, Ialu di Cidahu, Tasikmalaya. Di Cidahu ini dengan cepat ajaran tarekatnya dikenal. Salah satu yang membuat kelompok tarekat ini cepat mendapat perhatian, karena cara berpakaian yang menyerupai orang-orang Arab, yaitu pakaian serba putih serta berjenggot. Karena Itu mereka dijuluki kaum putih dan kaum jenggot.
Seperti gerakan Islam lainnya, gerakan Al-Idrisiyyah ini pun tak luput dart pengawasan ketat pemerintah kolonial Belanda, apalagi ajarannya memiliki kemiripan dengan ajaran tarekat Sanusiyah di AIjazair yang di tuduh marongrong kekuasaan kolonial Perancis. "Syaikh dan pengikut-pengikutnya itu merupakan musuh sangat berbahaya bagi kekuasaan Belanda. sekurang-kurangnya sama bahayanya dengan orang-orang golongan Sanusi terhadap kekuasaan Perancis di AIjazair." tulis Snouck Hurgronje seperti dikutip Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indoensia. (LP3ES. 1980. hal 29).
Pada masa pendudukan Jepang Tarekat Idrisiyah malancarkan sikap non-kooperatif-nya. Akibatnya, pemimpinnya, Abdul Fatah, harus mendekam di tahananan Jepang selama 10 bulan.
Setelah Cidahu dianggap sudah tak memadai lagi untuk mengembangkan ajaran tarekat Idrisiyyah, maka pada 1947 pusat gerakan tarekat ini dipindahkan ke desa Pagendingan Cisiyong. Dengan memanfaatkan tanah warisan istrinya, dibangunlah sebuah masjid dan beberapa pemondokan bagi santri laki-laki. Ketika maletusnya pemberontakan DI/TII para anggota tarekat ini terlibat aktif dalam usaha penumpasan pemberontakan tersebut. Kemudian pada 1969 nama pesantren Pagendingan diubah menjadi pesantren Fathiyyah, nama yang dihubungkan dengan Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fatah, sang pendiri tarekat Idrisiyyah Indonesia. Hingga sekarang pesantren Fathiyyah ini merupakan pusat pengembangan ajaran tarekat Idrisiyyah di bawah pimpinan Syaikh Muhammad Fathurahman, M.Ag. yang diberi mandat setelah wafatnya Syaikh Al-Akbar Muhammad Daud Dahlan.