Jum'at, 30 November 2012
Di Balik Kisah Kehidupan Sultan Muhammad Al-Fatih (Penakluk Konstantinopel)
Sultan M. Al-Fatih
Penaklukkan Konstantinopel, didampingi Gurunya.
Islam memiliki sejarah masa lalu yang gemilang yang dilakoni oleh orang-orang hebat dan saleh. Salah satunya adalah Sultan Muhammad II, yang dikenal dengan Muhammad Al-Fatih (sang Penakluk). Dialah pemuda yang berhasil menaklukkan Konstantinopel dalam usia yang relatif muda (21 tahun).
Penaklukkan Konstantinopel sebenarnya sudah diprediksi oleh Rasulullah Saw,
“Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah penakluknya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya”. (H.R. Ahmad)
800 tahun mimpi penaklukkan ibukota Imperium Romawi itu akhirnya terwujud oleh seorang pemuda kelahiran 30 Maret 1432 M. Ternyata kepribadian saleh dan tangguh seorang Sultan Dinasti Utsmani ini dibentuk oleh sosok Guru spiritual (Ulama Tasawuf) sejak kecil.
Salah satu statemen-nya setelah berhasilnya penaklukkan adalah: “Kegembiraanku bukan karena penaklukkan kota (Konstantinopel) itu, tapi karena keberadaan pria seperti ini (Sang Guru) di zamanku!”
Dia adalah Muhammad bin Hamzah ad-Dimasyqi ar-Rumi, yang dipanggil dengan Aaq Syamsudin.
Imam Syaukani[1] dalam kitabnya , Al-Badruth Thali’ menyebutkan bahwa Syekh Syamsudin begitu nampak keberkahan dan keutamaannya, dan bahwa ia telah memberikan batasan di hari apa Sultan Al-Fatih akan menaklukkan Konstantinopel dengan kedua tangannya.
Lebih lanjut dalam kitab tersebut diungkapkan:
Sehari kemudian Sultan mendatangi kemah Syekh Aaq Syamsudin sementara ia sedang berbaring. Namun beliau tidak berdiri menyambutnya. Sultan malah mencium tangannya dan mengatakan: ‘Aku menemui Anda karena suatu keperluan’. Syekh bertanya: ‘Apa itu?’ Sultan menjawab: ‘Aku ingin masuk ikut berkhalwat[2] bersama Anda.’ Namun Gurunya menolaknya. Sultan berulang kali mendesaknya, namun ia tetap mengatakan: ‘Tidak’. Hal itu membuat Sultan marah dan berkata: ‘Ada seorang Turki yang datang kepada Anda lalu Anda mengizinkannya untuk ikut berkhalwat bersama Anda hanya dengan satu kata, sementara aku, Anda tidak mengizinkanku!’ Maka Syekh menjawab: ‘Karena jika engkau ikut masuk berkhalwat engkau akan menemukan nikmatnya, yang kemudian akan menyebabkan posisi kesultanan akan jatuh dalam pandanganmu. Sehingga akibatnya, urusan kesultanan itu akan kacau dan Allah akan murka kepada kita karenanya. Apa yang engkau lakukan saat ini adalah lebih utama daripada masuk berkhalwat.
Saat sebelum penyerbuan ke Konstantinopel, Sultan mendatangi Gurunya tersebut dan meminta do’a agar senantiasa diberikan taufik. Maka Gurunya pun memberikan doa kepadanya. Saat penyerangan, Sultan menginginkan Gurunya ada di dekatnya. Maka dikirim utusan untuk mengundangnya. Namun Syekh meminta agar tidak ada seorang pun yang masuk ke dalam kemahnya. Para penjaga melarang utusan Sultan. Mendengar hal itu Muhammad Al-Fatih marah dan ia sendiri mendatangi kemah Gurunya. Para penjaga tetap saja melarangnya masuk berdasarkan perintah Syekh. Sultan mengambil belati dan merobek dinding kemah di salah satu sisinya. Ia melihat ke dalam, Gurunya sedang sujud amat lama. Surbannya terurai, dan rambut putihnya terjulur ke tanah. Jenggotnya yang putih dengan rambutnya tampak bercahaya. Lalu Sultan melihat Gurunya bangun dari sujudnya sementara air matanya mengalir di kedua belah pipinya. Beliau bermunajat kepada Allah agar menurunkan kemenangan bagi pasukan Muhammad Al-Fatih.
Meskipun Sultan di masa mudanya mempelajari metode-metode perang, seni politik (konspirasi), sejarah militer dan mengkaji buku-buku trik mekanik hingga ia dapat menciptakan beberapa alat perang seperti katapel dan meriam besar, namun sesaat sebelum penyerangan ia mengalami kegundahan sebab kekalahan pada pengepungan Konstantinopel pertama (54 hari). Para panglima dan Menteri Daulah Utsmaniyah berkumpul dan menemui Sultan dan berkata:
‘Sesungguhnya Anda mendorong jumlah pasukan yang amat besar menuju pengepungan ini hanya karena mengikuti omongan salah seorang ulama (maksudnya Gurunya). Akibatnya banyak prajurit yang tewas dan perlengkapan perang rusak. Ditambah lagi dengan hadirnya bala bantuan dari orang-orang Kafir negara Barat yang masuk ke dalam benteng (Konstantinopel), dan kini sama sekali tidak ada harapan untuk upaya penaklukkan ini!’
Sultan yang masih muda itu segera mengutus menterinya menemui Syekh Aaq Syamsudin di kemahnya untuk menanyakan solusi terhadap kondisi tersebut. Maka Sang Syekh menjawab: ‘Pasti, Allah akan mengaruniakan kemenangan!’
Sultan tidak puas dengan jawaban ini. Maka sekali lagi, ia mengutus menterinya untuk meminta penjelasan lebih banyak kepada Syekh. Maka Sang Syekh menuliskan sepucuk surat kepada muridnya, Muhammad Al-Fatih itu dengan mengatakan:
‘Dialah Sang Pemberi kekuatan dan kemenangan ... Peristiwa masuknya kapal-kapal perang itu telah menyebabkan jiwa kaum muslimin menjadi hancur dan khawatir dan melahirkan kegembiraan dan kesombongan di kalangan kaum kafir. Namun satu hal yang pasti adalah: hamba mengatur namun Allah yang menakdirkan, dan ketetapan terakhir itu semuanya milik Allah ... Kita telah kembali kepada Allah dan membaca Al-Quran al-Karim. Semua itu tidak ubahnya seperti rasa kantuk, lalu tidak lama setelah itu terjadilah karunia-karunia Allah sehingga nampaklah berbagai kabar gembira yang belum pernah terjadi sebelumnya’. Surat itu akhirnya memberikan ketenangan dan kelegaan dalam diri para panglima dan prajurit. Dengan segera Dewan Militer Utsmani memutuskan untuk melanjutkan penyerangan untuk menaklukkan Konstantinopel. Dan akhirnya berhasil.
Sultan Muhammad Al-Fatih tidak pernah terlena dengan kekuatan dirinya, jumlah pasukannya yang banyak dan keluasan wilayah kekuasaannya. Karenanya, ketika ia memasuki kota Konstantinopel ia mengatakan: ‘Segala puji milik Allah ... Semoga Allah merahmati para Syuhada .... dan mengaruniakan kemuliaan kepada para mujahidin. Semoga Allah mengaruniakan rasa kebanggaan dan rasa syukur kepada bangsaku.’
Lihatlah bagaimana ia menyandarkan semua karunia itu kepada Allah. Hal ini terwujud karena nilai-nilai Tasawuf yang mendalam telah diajarkan Syekh kepadanya. Syekh Aaq Syamsudin telah memberikan motivasi kepada Al-Fatih sejak ia masih kecil agar ia menjadi sosok yang diidamkan dalam hadits Nabi Saw. Sebagai seorang Sufi yang sering berkhalwat, Syekh Aaq Syamsudin menjadi aktor di balik layar penaklukkan kota Kontsantinopel yang sudah dicoba oleh para banyak pejuang Islam sebelum Al-Fatih, namun belum juga berhasil. Ahli sejarah ada yang mengatakan bahwa Syekh Aaq Syamsudin itulah Sang penakluk maknawi bagi Konstantinopel.
Dalam buku biografi ini tersirat pesan bahwa manusia dalam menjalankan dan menentukan langkah kehidupannya memerlukan pembimbing spiritual (Mursyid) agar tidak keliru putusannya. Muhammad Al-Fatih telah merasakan dan membuktikan hal itu. Lalu bagaimana dengan kita?
Lq, 28 Nov ‘12
_________oOo_________
Tulisan ini merupakan catatan buku ‘Muhammad Al-Fatih, penakluk Konstantinopel’ Syaikh Ramzi Al-Munyawi, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan I 2011. Sejak membaca tulisan di sebuah buku yang menunjukkan kesalehan Sultan Muhammad Al-Fatih beserta pasukannya, maka saat buku biografinya muncul, rasa tertarik tak tertahankan untuk membaca sisi kehidupannya lebih jauh. Sebab jarang sekali dalam tarikh, ada pasukan perang yang semuanya tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu, apalagi dengan berjama’ah. Demikian pula pemimpinnya, Al-Fatih, tidak pernah sejak baligh meninggalkan sholat malam (tahajjud). Hal ini membuktikan statement hadits 800 tahun sebelum kejadian penaklukkan Konstantinopel.
Saat banyak orang menuding Tasawuf itu bukan dari ajaran Islam, atau merasa tidak perlu dengan kehadiran Tasawuf, fakta sejarah ini perlu diungkap ke permukaan. Tasawuf lah yang menjadi motivasi keberhasilan dan kemenangan Islam dalam sejarah masa lalu. Kini, umat Islam bisa mengulanginya jika mengikuti apa yang telah dilakukan oleh pemuda yang bernama Muhammad Al-Fatih ini.
Kisah tokoh penting dalam Islam yang dipengaruhi jalan kehidupannya oleh para Guru Sufi atau Mursyid Tarekat juga banyak. Di antaranya adalah Hujjatul Islam Imam al-Ghazali - Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna - pendiri Ikhwanul Muslimin, Said Hawwa, dan lain-lain. Mungkin akan banyak lagi data dan fakta yang terkuak membuktikan hal itu.
[1] Imam Syaukani ini merupakan salah satu Ulama yang dijadikan panutan oleh Salafi Wahabi. Namun sisi pandangannya tentang pengakuan terhadap tokoh Ulama tasawuf dengan memuat cerita ini, tidak diangkat sebagai catatan penting bagi mereka yang alergi terhadap keberadaan tasawuf.
[2] Istilah khalwat lebih identik dengan salah satu ajaran Sufi, dan secara spesifik tidak ada dalam kelompok aliran Islam lainnya.
Sumber : http://www.al-idrisiyyah.com/read/article/363/bukti-keagungan-tasawuf