(Bag. Pertama dari dua tulisan)
Ramadhan merupakan bulan suci yang menyucikan, meluruhkan berbagai kekotoran jasad dan jiwa. Sejuta keutamaannya membuat orang merasa rugi jika menyia-nyiakan keberadaannya.
Ramadhan dengan berbagai kelebihannya menjadi berharga karena ‘perintah’. Berpuasa menjadi tidak bernilai jika di satu sisi kita ‘mengejar’ keutamaan Ramadhan, namun di sisi lain kita meninggalkan aturan yang telah ditetapkan-Nya.
Seringkali terjadi jika seseorang berpergian jauh (musafir) atau sakit, ia merasa kurang enak (sreg) jika berbuka. Atau merasa kurang afdhal (utama) jika berbuka. Atau merasa berat jika ia mesti membayarnya di lain waktu. Ia merasa rugi jika ‘kehilangan’ puasa ramadhan-nya, tapi ia tidak merasakan kasih sayang Allah telah lenyap dari jiwanya. Ia lebih mengutamakan karunia ramadhan daripada yang menciptakan ramadhan (Allah SwT).
Ramadhan mesti diisi dengan ketundukan dan ketaatan, dan tidak mesti dengan puasa. Apalah arti puasa yang tidak menyambut sifat Rahim Allah kepadanya dengan meninggalkan rukhshah (keringanan) yang Allah berikan kepadanya.
Allah SwT berfirman: ‘Allah menghendaki kemudahan untukmu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu’. (Q.S. Al-Baqarah: 185)
Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik umatku adalah apabila pergi jauh (musafir) dia berbuka puasa dan shalat Qashar”. (HR. Thabrani)
“Sesungguhnya Allah mencintai jika kemurahan-kemurahan-Nya diambil sebagaimana Dia mencintai jika fardhu-fardhu-Nya dikerjakan. Sesungguhnya Allah mengutusku untuk menyampaikan agama yang lurus lagi mudah, yakni agama Ibrahim As”. (HR. Ibnu ‘Asakir)
“Kerjakanlah yang fardhu, terimalah keringanan (kemurahan-Nya), biarkanlah orang-orang, maka sungguh kamu dipelihara dari gangguan mereka”. (HR. Al-Khathib)
Tujuan puasa adalah meraih nilai-nilai ketaqwaan, bukan semata-mata mencari-cari keutamaan Ramadhan dengan meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Bukanlah dengan adanya ramadhan kita membabi buta menggapai gelimang cahayanya, tapi kita tinggalkan esensi kehambaan kita kepada Allah.