Berlian Pagi
al-idrisiyyah.com | Syekh Akbar M. Fathurahman pagi ini menjelaskan sebuah hadis yang termuat dalam kitab Risalah al Qusyairiyah. Hadis tersebut adalah:
اللَّهُمَّ تَوَفَّنِيْ إِلَيْكَ فَقِيْرًا، وَلَا تَتَوَفَّنِي غَنِيًّا، وَاحْشُرْنِي فِيْ زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
‘Yaa Allah, wafatkanlah aku dalam keadaan fakir (kondisi batin yang butuh kepada Allah), dan jangan Engkau wafatkan aku dalam kondisi batin yang tidak butuh kepada-Mu. Bangkitkanlah aku dalam kelompok orang-orang yang butuh kepada Engkau pada hari kiamat kelak!’ (HR. Thabrani)
Pengertian ‘fakir’ dalam konteks hadis di sini bukan tidak memiliki harta. Orang-orang miskin yang dimaksud bukanlah orang-orang yang memiliki kondisi miskin yang penuh penderitaan karena ketiadaan harta, akan tetapi orang-orang yang memiliki kondisi tenang (muthmainnah) disebabkan telah mendapatkan Ridha Allah. Mereka sudah mendapatkan tanda kebahagiaan sebelum memasuki surga.
Orang yang terjebak pada pengertian yang harfiyah dan diarahkan kepada makna zahir akan kontradiktif dengan keberadaan Nabi Sulaiman As yang berlimpah harta dan kekuasaan. Andaikan umat diperintahkan agar menjadi miskin maka tidak ada orang kaya yang beserta Nabi Saw. Karena dalam doa di atas Beliau minta dikumpulkan bersama orang-orang yang miskin.
Demikian jelaslah perbedaan Fakir dan miskin dalam terminologi tasawuf dengan ilmu fikih. Jika dalam ilmu fikih istilah fakir dan miskin diidentikkan dengan kondisi kekurangan/ketiadaan harta benda, sedangkan dalam istilah tasawuf bermakna kondisi jiwa yang butuh kepada Allah dan tenang (sakinah – سكينة).
Sumber : http://www.al-idrisiyyah.com/read/article/934/berlian-pagi-08-november-2016