Dakwah Lombok (1-4 April 2011) Bag. Kedua
Written By Unknown on Rabu, 06 April 2011 | 15.54.00
Bagian Kedua dari 2 Tulisan
Sambutan Hangat
Pulau Lombok dikenal sebagai Pulau seribu masjid. Keberadaan masjid yang indah-indah di berbagai pelosok menunjukkan masyarakatnya amat religius. Adanya masjid indah dan megah seolah menunjukkan status ekonomi atau kesejahteraan lingkungan tersebut. Rata-rata masjid memiliki kubah besar diapit oleh 2 buah menara.
Kunjungan kami yang pertama adalah di Pondok Pesantren Al-Hafizhiyyah. Di sini, kami mendapatkan sambutan yang di luar dugaan kami. Pada saat keluar mobil, Syekh M. Fathurahman langsung didekap erat oleh putra Kiyai Abdul Hafizh, pose ini tidak tertangkap penuh oleh kamera, karena kameramen berada di belakang mobil Syekh. Setelah itu Syekh dipegang erat melangkah menuju masjid.
Di sepanjang jalan itu, kami yang ingin mendokumentasikan gambar tidak bisa berbuat banyak. Massa merangsek ke hadapan Syekh untuk mencium tangan. Kami di belakang yang hendak mengambil gambar, tidak luput dari jabatan dan dekapan tangan mereka yang seolah tidak mau melepaskan kami begitu saja. Sepanjang jalan hingga di dalam masjid, jama’ah di kanan kiri minta bersalaman satu per satu.
Di tengah acara MC memaparkan kerinduan dan kegembiraan bertemu dengan Syekh yang berasal dari tanah Jawa Barat. Karena mereka merasakan ada getaran hubungan yang begitu kuat antara kami dengan mereka. Sebab Guru-guru Tarekat mereka terdahulu berasal dari tanah Jawa. Tuan Guru Abdul Hafizh yang berusia 95 th sendiri adalah satu-satunya Guru yang masih hidup di Lombok Tengah, yang menjadi saksi hubungan silsilah Keguruan Tarekat ke tanah Jawa.
Di masjid seluas Masjid AlFattah Batu Tulis itu, penuh dengan orang yang hadir, pria di depan dan wanita di belakang. Ceramah Syekh M. Fathurahman yang interaktif menambah suasana lebih akrab. Selesai ceramah, kami dijamu dengan gaya Lombok. Saat itu kami memberikan cinderamata berupa dvd ceramah dengan 11 judul. Mereka senang menerimanya. Sepulangnya menuju mobil, masih ada jama’ah yang menghadang jalan kami meminta untuk mencium tangan Syekh.
Di masjid Baital Falah, Syekh M. Fathurahman sudah berceramah dua kali. Beberapa tahun lalu Beliau pernah memberikan khutbah Jum’at. Dan gaya ceramah ini amat disenangi pengurus masjid di sana, dan ia masih mengingatnya. Oleh karenanya, waktu seluas-luasnya disediakan untuk Beliau untuk berceramah. Bahkan sampai jam 9 pun (dari maghrib) dipersilahkan. Di tempat ini walau diumumkan mendadak dan tidak disediakan konsumsi acara, jama’ah tetap antusias menghadiri acara ceramah agama di masjid. Bahkan lebih banyak dari jama’ah pengajian Ahad di Batu Tulis. Selama 1 jam 1 menit Beliau ceramah bertemakan Hak-hak Allah yang mesti dipenuhi oleh setiap hamba.
Di Kampung Muhajirin, Lombok Barat, Syekh M. Fathurahman disambut antusias oleh masyarakat setempat. Masjid dipenuhi hadirin dan hadirat berbagai usia, dari anak-anak hingga kakek nenek. Syekh M. Fathurahman berceramah lebih interaktif dari sebelumnya. Ceramah sering diselingi oleh dialog-dialog yang membuat jama’ah terasa betah mendengarnya. Bahkan beberapa orang tua yang semula duduk tertunduk serius, ‘terpaksa’ mengangkat kepalanya karena terbawa kehangatan interaksi penceramah dan pendengar malam itu. Materi ceramah saat itu adalah ‘Kewajiban setiap Hamba pada dirinya sendiri’. Ceramah diselingi dengan semangat membangun persatuan umat dan menghindari perpecahan antar pribadi dan golongan. Ceramah Syekh yang berkesan ini membuat tokoh Ulama / masyarakat merasa dekat dengan Beliau. Rasa sungkan dengan penampilan kami sejak kedatangan berubah menjadi keakraban. Kami mengadakan acara berfoto bersama. Tidak ada satu pun jama’ah yang melewatkan kesempatan emas ini. Ketika kami berada di mobil usai acara, ketua masjid berkata, ‘Tolong, kalau ada jadwal ke lombok nanti mampir ke tempat kami! Kami akan menerimanya kapan pun! Tolong jangan lupakan kami di sini!’ Insya Allah.
Beberapa kisah Spiritual
Pada hari Ahad pagi, sms dari putra Kiyai Abdul Hafizh mengatakan bahwa ayahnya semalaman tidak bisa tidur. Putranya tidak mengerti untuk mengungkapkan perasaan ayahnya yang dilanda kerinduan yang sangat kepada Syekh M. Fathurahman, seolah tidak ingin dipisahkan dengan Syekh M. Fathurahman. Ia juga mengatakan bahwa pertemuan dengan Syekh kemarin siang begitu memuaskan dan mengesankan hatinya.
Belum selesai sms ini diceritakan, Syekh M. Fathurahman juga mengungkapkan bahwa semalaman Beliau tidak bisa tidur. Karena terdengar suara gaduh. Itulah para leluhur dan Ulama-ulama Lombok terdahulu mendatangi Beliau malam itu. Sungguh mengagumkan jalinan hati apabila saling bertemu dan menyapa, lalu timbullah kecintaan yang tak mau dipisahkan ini.
Setelah kami ceritakan, Syekh memberikan isyarat agar Kiyai Abdul Hafizh datang ke tempat acara Taushiyah Beliau di kampung Muhajirin pada malam Senin. Tapi setelah acara ada berita dari putranya bahwa Kiyai tidak bisa melakukan perjalanan malam hari karena uzur usia.
Kisah kedua, setelah ceramah di masjid Baital Falah, datang 2 orang ibu yang rupanya tetangga Pak Ardiwan sebelah rumahnya. Saat kami berbincang dan mereka duduk di hadapn kami, Ibu Hanna yang bersuamikan dosen itu bertanya, ‘Kayaknya saya pernah lihat di Televisi deh!’ ‘Oh, iya waktu itu bersama Ust. Arifin Ilham di MNC’ jawab Syekh. Ibu Hanna dahulu pernah dibai’at oleh Syekh Muhyiddin M. Daud Dahlan di rumah P Ardiwan. Dibai’atnya ibu Hanna ini didahului oleh beberapa pe ristiwa ruhani yang membuatnya tertarik menjadi murid. Bahkan beberapa hari sebelum Syekh M. Daud Dahlan wafat, ia dimimpikan Beliau berada di sebuah masjid yang belum pernah saya melihatnya (mungkin di Tasik, katanya). Beliau berada di tengah-tengah muridnya dan diangkat ke atas ramai-ramai. Tapi saya, kata Bu Hanna, hanya mengintip dari luar, gak berani masuk ke dalam. Ibu Hanna ini sebelum Syekh M. Fathurahman mengisi ceramah di Baital Falah, menghubungi beberapa kawan-kawannya untuk hadir mendengarkan ceramah Syekh. ‘Jarang-jarang lho kita kedatangan seseorang yang istimewa dari tempat yang jauh!’ katanya. Ibu Hanna ingin sekali Syekh M. Fathurahman berdakwah di kampungnya, yakni Bima (NTB). Permintaan ini kami catat sebagai agenda dakwah ke depan.
Satu lagi yang menjadi pendamping P. Ardiwan di Lombok adalah Johan, adiknya. Saat kami tiba di Selaparang, terlihat keduanya menyambut kami dengan sigap. Adiknya ini dulu pernah tertarik menjadi murid sebuah Tarekat. Tapi, kakaknya mengingatkan agar adiknya mencari Guru yang jelas keguruannya. Johan menuturkan, semenjak saya menjadi murid Idrisiyyah, ia tidak diganggu lagi oleh makhluk halus yang kadang-kadang menindih atau mencekiknya di kala ia tidur. Sejak itu hingga kini ia merasa nyaman dan mantap menjadi bagian jama’ah Al-Idrisiyyah.
P. Ardiwan bercerita bahwa ia pernah didatangi oleh seorang pemuka Hindu (yang rajin bertapa), ia berkata bahwa rumahnya ini memiliki kelebihan cahaya (aura) yang bagus. Sepertinya ada sesuatu di dalam rumah, tapi ia tidak tahu mengapa kediaman Pak Ardiwan berubah menjadi bagus pesona keghaibannya. Setelah diceritakan bahwa rumahnya beberapa kali pernah didiami oleh Gurunya dari Jawa, barulah ‘Kiyai’ Hindu ini memahaminya. Ia menawarkan jika rumahnya mau dijual, silahkan menghubunginya, berapapun harganya. Kayaknya P. Ardiwan setelah mengetahui kelebihannya, tidak bakal tertarik dengan tawaran tersebut. Tentu, pengabdiannya kepada sosok Ulama yang dimuliakan Allah melebihi apa yang terungkap di dunia ini.
Kepada murid-murid yang jauh di mata tapi dekat di hati ini Syekh M. Fathurahman mengingatkan agar senantiasa menjaga kewajiban ibadah yang telah disyari’atkan. Jika hal itu dipenuhi, secara otomatis bimbingan Allah secara ruhaniah (karena faktor jarak) akan datang kepadanya. Allah itu lebih dekat daripada urat leher. Artinya bukan Zat-Nya, tapi Rahmat, Nur, Ilmu dan bimbingan-Nya yang dekat. Seorang murid bukanlah beribadah kepada Gurunya, karena seorang Guru hanyalah sebagai agency, perantara saja. Tapi ia beribadah kepada Allah Yang Haqq.
Pesan-pesan Dakwah
Dakwah Syekh M. Fathurahman ke berbagai wilayah dan komunitas tidak mengusung ‘nama baru’ atas nama yang telah ada. Nama ‘Al-Idrisiyyah’ sekedar identitas semata. Masyarakat atau komunitas yang didatangi tidak untuk didakwah agar mau menjadi jama’ah Idrisiyyah. Posisi Idrisiyyah adalah menjadi penengah, dakwahnya menyampaikan nilai-nilai keimanan dan keislaman. Dan tidak ada paksaan untuk mengikutinya.
Ibadah kepada Allah di antara umat yang sudah bergolong-golongan saat ini adalah berpedoman kepada fastabiqul khoirot (berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan). Agama bukan untuk membelenggu umat. Agama berfungsi untuk mengatur agar terjadi keharmonisan di tengah kemajemukannya.
Jika ibadah saling menghancurkan, saling mencari kekurangan dan kesalahan, berarti ibadahnya tidak ikhlash. Seharusnya ibadah itu bermitra, bukan saling menjegal. Dakwah mesti mengedepankan kedamaian. Dakwah sekarang adalah dengan cara yang lebih elegan (santai) dan damai. Sedangkan dahulu sering diwarnai dengan ketegangan.
Masing-masing diri kita telah memiliki komunitas atau kelompok, maka yang dikedepankan adalah kemitraan karena wadahnya sudah ada. Jika dakwah kita berorientasi kemitraan maka akan mudahlah jalan dakwahnya. Jika ada kelompok yang ada kekurangannya semestinya dibantu dicarikan solusinya bukan malah dipojokkan. Tujuan dakwah bukanlah untuk membesarkan kelompoknya masing-masing, tapi karena Allah dan Rasul-Nya.
Dakwah bukanlah untuk memamerkan ilmu dan murid. Saling memberi dan menasehati adalah motivasi dakwah. Arahkan tujuan dakwah kepada Allah, bukan kepada manusia.
Ibadah sekarang adalah ibadah nikmat (syukur). Kita hanya mensyukuri nikmat yang sudah ada di hadapan kita, dan tidak mampu menolaknya. Coba kita perhatikan, berapa orang yang terlibat sehingga makanan yang akan kita makan ini tersaji di hadapan kita. Bayangkan ada berapa orang yang memelihara ayamnya, yang memotongnya, yang mencincangnya, yang mengirimnya ke pasar, yang menjualnya, yang memasaknya, yang menyajikannya. Belum bumbu-bumbunya, nasinya, dsb.
Allah telah merancang perjalanan rizki yang akan menghadang di manapun kita berada. Sebelum datang ke suatu tempat rizki kita telah dipersiapkan. Dan rizki yang Allah berikan begitu luas, sehingga kita tidak mampu menikmati semuanya. Ternyata bukan rizki yang terbatas, tapi kemampuan kita-lah yang membatasinya. Kita tidak mampu merasakan semuanya. Makanan yang enak pun jika melampaui batas ukuran bukan bertambah enak, tapi ‘eneg’.
Bersyukur atas nikmat, adalah penyebab ditambahkannya nikmat. Dan senikmat-nikmatnya karunia adalah diberikan keteguhan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Materi ceramah selama di Lombok dapat disimak di Gallery Audio (www.al-idrisiyyah.com)
Lq, 6 Maret 2011
Sumber : http://www.al-idrisiyyah.com/read/article/202/dakwah-lombok-1-4-april-2011-bag-kedua
Labels:
External,
Safari Dakwah