Senin, 1 April 2013
Bagian Kedua dari 2 Tulisan
Oleh-Oleh Dari 2 Kota Suci
Umroh Feb \'13 Cover 2
Syekh M. Fathurahman menjelaskan bahwa yang melihat ruhani bukanlah mata jasad, tapi ’Aynul Bashirah (mata hati). Dalam keadaan jaga walaupun memejamkan mata, jika ’Aynul bashirah diizinkan melihat Rasulullah Saw baik ke kanan maupun ke arah lain maka ’Aynul bashirah tetap membekas di dalam hati.
Syekh M. Fathurahman mengungkapkan bahwa Rasulullah Saw sering menggunakan surban putih berkerudung di atas kopiahnya, ketika melaksanakan sholat. Sedangkan jika sedang melaksanakan aktivitas sehari-hari sering melilitkan surbannya.
Dan Rasulullah Saw bersabda ketika itu barang siapa melihat wajah yang pernah melihat Rasulullah baik di kala jaga atau tidurnya maka sama saja melihat Rasulullah Saw. Demikian pada masa dahulu jika seorang Tabi’in belum pernah melihat wajah Rasulullah Saw, tapi ia melihat Sahabatnya dengan dasar cinta atau keimanan sama saja ia melihat Rasulullah Saw. Maka rugilah apabila di setiap zaman dan kaum tidak ada orang yang dperlihatkan wajah Rasulullah Saw. Karena ada orang-orang yang dipilih Allah dan Rasul-Nya mendapatkan izin menatap wajah Rasul, walaupun sudah 14 abad yang lalu, maka umat akhir zaman sama saja melihat Rasulullah Saw. Inilah yang membuktikan bahwa bimbingan Nabi Saw masih berlanjut, di mana para Ulama dari dahulu hingga sekarang masih diberikan karunia dipertemukan dengan Beliau Saw baik dalam keadaan jaga atau mimpi.
Dengan melihat wajahnya saja bertambah-tambah keimanannya. Demikian kita misalkan apabila seseorang melihat figur yang mengingatkannya kepada keburukan, maka akan bertambah keburukannya atau kejahatannya, karena menambah motivasi (terdorong) untuk berbuat seperti kelakuannya.
Penyampaian berita ini merupakan syukur atas karunia besar yang diberikan Allah atas umat ini sebagaimana difirmankan:Wa-ammaa bini’mati robbika fahaddits. Berita gembira yang dialami Rasulullah Saw pada masa dahulu disampaikan langsung kepada orang-orang di sekitar Beliau, ada yang bertambah iman dan ada yang mengingkarinya.
Begitu tinggi harapan para Wali Allah ingin melihat wajah Rasulullah Saw, walaupun hanya sekedar mimpi. Harapan orang sepeninggal Nabi Saw adalah adanya kepastian atas apa yang sedang dijalaninya. Hal ini bagi mereka yang butuh kepada jalan kebenaran yang hakiki. Dan jika ingin berjumpa dengan Rasulullah Saw mesti ada koneksi (silsilah)nya. Inilah tangga menuju kepada Allah.
Apakah kita layak bertemu dengan Rasulullah Saw? Maka kita mesti mengukur kelayakan tersebut dengan seberapa besar rindu kita kepadanya, seberapa banyak dan sering kita melantunkan sholawat kepadanya. Kita tiru bagaimana para Mursyid Al-Idrisiyyah begitu rindu ingin berjumpa dengan Rasulullah Saw, seperti Syekh Abdul Aziz ad-Dabbagh setiap malam Jum’at tidak pernah tidur memperbanyak melantunkan sholawat.
Di hari akhir di Masjidil Haram setelah mengambil miqat di Bi’r Ali rombongan bersiap untuk melaksanakan Thawaf Wada’ karena bersiap untuk pulang. Malam itu sekitar jam 3 jama’ah diperintahkan sudah berkumpul di lobby hotel. Berdasarkan informasi ruhani ketika itu, seluruh jama’ah diperintahkan untuk merapat ke multazam, suatu tempat yang banyak diburu jama’ah Haji / Umroh untuk berdo’a dan munajat. Karena tempat tersebut diyakini sebagai tempat yang mustajab. Dahulu Rasulullah Saw ketika membutuhkan penyelesaian urusan besar selalu mendatangi tempat ini, lalu Beliau mengangkat tangan tinggi-tinggi hingga terlihat kedua belah ketiak Beliau yang putih.
Biasanya daerah multazam yang terletak di dekat posisi hajar aswad itu tidak pernah sepi dari jama’ah yang berebut mendatanginya. Tapi Alhamdulillah, waktu itu daerah tersebut Allah kosongkan untuk jama’ah rombongan Idrisiyyah, hingga seluruh peserta umroh dapat berdo’a bersama di situ. Allah memberikan kondisi yang kondusif di mana seluruh yang thawaf seolah menghindari tempat yang sedang digunakan untuk munajat ketika itu. Syekh M. Fathurahman bersama jama’ah begitu leluasa berdo’a untuk agama dan umat, dan diamini oleh para muridnya. Saat berlangsung peristiwa itu, petugas yang biasanya berjaga di atas posisi hajar aswad sampai melongok ke bawah memperhatikan apa yang sedang dilakukan Syekh M. Fathurahman bersama jama’ahnya.
Dapat bermunajat di tempat yang mustajab dan di waktu sepertiga malam merupakan karunia Allah yang teramat besar, dan patut disyukuri karena jarang sekali. Inilah tanda (bukti) berikutnya.
Ada 2 yang mestii dilakukan untuk mewujudkan Islam sebagai agama yang membawa kedamaian dan kemuliaan dalam kehidupan ini. Pertama bersihkan hati, karena iman bersemayam di dalam hati Dosa maksiat batin mesti terus dibersihkan setiap hari supaya iman tumbuh betah di dalamnya. Tapi, jika hati kotor, ’ujub, sum’ah, takabbur, cinta kepada dunia berlebihan, cinta kepada pangkat, penghormatan, penghargaan, takut mati, maka kesuksesan sebagai seorang muslim tidak akan pernah tercapai.
Kedua, memupuknya dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya agar keimanan subur dan tidak mudah digoyang atau diruntuhkan. Wujudnya adalah keislaman (ketundukan) dan akhlaqul karimah.
Syekh Muh. Fathurahman menyatakan jika seorang Guru mendapatkan karunia maka orang yang setia kepada perjuangannya akan mendapatkan pula karunia, sebagaimana Rasulullah Saw menerima karunia, dan kemudian para sahabat mendapatkan pula [lihat awal Surat Al-Fath].
Marilah tumbuhkan keimanan dan ketundukan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tarekat bukanlah tujuan, tapi hanyalah sebuah metode untuk dapat mempelajari dan mengamalkan Islam.
Kenikmatan beragama diperoleh bagi orang yang melangkah demi kepastian dari waktu ke waktu. Hati merasakan keyakinan dan kepastian karena Allah turunkan keimanan di dalamnya. Banyak orang beragama merasakan gersang karena tidak menempuh jalan sesungguhnya. Kita mesti buktikan sendiri dan merasakannya langsung, jangan menurut orang lain atau ‘katanya’. Jiwa dan hati ini mesti merasakan kekhusyu’an hingga level kondisi ruhani yang lebih tinggi dan semakin tinggi. Pada akhirnya setiap manusia diberikan karunia sesuai dengan apa yang diusahakannya.
Pemberian adalah Allah yang mengaturnya, dan Allah tidak akan salah memberi, karena penuh dengan Keadilan dan Kasih Sayang-Nya. Derajat di syurga berbeda-beda bergantung usaha dan kesungguhan dalam beramal. Marilah jangan sia-siakan umur kita, jangan menunggu nanti, tapi mulai dari sekarang.
Akal sehat dan logika akan membenarkan. Itulah keimanan yang tidak mudah goyah dan diombang-ambing. Ilmu dan amal serta keimanan lah yang akan mengangkat derajat seseorang di hadapan Allah SWT. Yarfa’illahulladziina aamanuu minkum walladziina uutul ’ilma darojaat. Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. [Q.S. Al-Mujadilah: 11]
Balasan Allah di dunia seperti tanda jadi transaksi yang berlaku di dunia. Jika tidak ada tanda jadi untuk suatu pembelian bernilai tinggi maka akan terjadi keraguan terhadap kesepakatan yang telah dibuat. Demikianlah mawahib yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya, baik berupa pengalaman ruhani maupun harta yang penuh keberkahan, adalah bentuk kepastian akan adanya balasan akhirat yang jauh lebih berharga dan tinggi nilai serta ukurannya.
Orang yang beriman membutuhkan kepastian atas apa yang telah diupayakan dan diperjuangkannya berupa jerih payah dalam mewujudkan bentuk-bentuk ibadah, seperti mencari rizki, membangun rumah tangga, bermasyarakat, dan lainnya. Kepastian itu diberikan Allah kepada orang yang beriman berupa nikmat ruhani atau bentuk nikmat fisik lainnya. Jika tidak ada kepastian, keimanan mereka akan lemah.
Penyambutan Futuh
Dahulu pada masa Futuh Mekkah Rasulullah Saw pernah disambut dengan Qashidah oleh masyarakat Madinah, dengan meriah dan penuh kecintaan, Thola’al badru ’alaynaa .... Hal ini dialami beberapa kali dalam perjalanan Umroh kali ini.
Pada saat perjalanan menuju bandara, supir bis tidak seperti pengalaman sebelumnya. Ia berjoget ria sambil mendengarkan lagu-lagu sholawat. Tingkahnya ini begitu menghibur para penumpang. Sepanjang perjalanan ia terus membaca sholawat dan qashidah Thola’al badru ’alaynaa .... Kejadian ini begitu unik, karena biasanya lantunan lagu sholawat atau qashidah semacam itu mendapat pengawasan ketat dari pemerintah Saudi. Tidak biasanya orang Saudi mendendangkan lagu-lagu sholawat.
Begitu turun dari bis menuju bandara, supir bis dan keneknya ikut turun juga mengantarkan rombongan ke ruangan imigrasi. Biasanya supir tidak melakukan hal itu, dan tetap diam di dalam bis. Tiba-tiba supir dan keneknya berdiri di depan pintu masuk ruangan sambil berjoget mendendangkan Thola’al badru ’alaynaa ....
Sesampainya di Pesantren di Tasikmalaya, seluruh jama’ah yang sudah menanti-nanti kedatangan Syekh, ramai-ramai menyambut Beliau dengan bait yang sama Thola’al badru ’alaynaa ...... Suasana begitu mengharukan kala itu. Rombongan tiba dengan selamat, alhamdulillaah!
Rek Pengajian: http://www.mediafire.com/?5ov5y8kagihpg1a
Sumber : http://www.al-idrisiyyah.com/read/article/387/oleh-oleh-dari-2-kota-suci